Indonesia merupakan negara yang majemuk, penuh dengan keberagaman. Keberagaman etnis, agama, ras, dan yang lainnya. Keberagaman tersebut bila dikelola dengan baik akan menjadi kekuatan positif bagi bangsa. Sebaliknya, bila tidak dikelola dengan baik akan rawan terjadi konflik. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran terhadap pentingnya menghargai kemajemukan yang ada.
Pendidikan dinilai dapat mengubah pola pikir dan perilaku seseorang. Melalui pendidikan (multikultur), kesadaran akan nilai multukultur dapat dikembangkan. Penanaman wawasan multikulturalisme dapat diawali dengan kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan, menanamkan sikap toleransi, serta menjunjung tinggi demokrasi dan pemahaman makna budaya perdamaian. Pendidikan dengan basis kultural akan sangat membantu orang untuk mengerti, memahami, serta menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihargai dan dihormati sehingga tumbuh pemahaman akan relativitas nilai budaya.
Sayangnya, sejak orde baru Indonesia cenderung masih menggunakan sistem “monokultural”, sentralistik yang berasal dari pusat (penguasa). Sentralistik dan uniformistik yang dipilih telah membentuk kluster-kluster komunitas sosial yang eksklusif. Sebagai contoh, lahirnya sekolah favorit-nonfavorit dan sekolah negeri-swasta. Pembentukan karakteristik dalam dunia pendidikan tersebut justru cenderung menjauh dari konsep multikulturalisme. Pun maraknya sekolah-sekolah berbasis etnis dan keagamaan. Sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan.
Pendidikan multikulturalisme menjadi sebuah harapan dalam membangun masyarakat multikultur. Pendidikan multikulturalisme harus mampu menjembatani proses belajar untuk mengubah perspektif monokultural menuju perspektif multikultural yang jauh dari prasangka, diskriminatif, penuh toleran, dan sikap terbuka. Paradigmanya ditekankan pada kompetensi kebudayaan sehingga tidak berkutat pada aspek kognitif saja tetapi juga melangkah pada aspek psikomotorik.
Review dari Jurnal :
Aris Saefulloh. 2009. Membaca Paradigma Pendidikan dalam Bingkai Multikulturalisme (Jurnal). Purwokerto : Insania Vol. 14 No. 3
0 komentar:
Posting Komentar